Friday, March 6, 2009

Catatan Mbak Siti......*^*


Mataku menatap televisi namun tidak dengan pikiranku. Aku masih merasakan sakit dan lemas. Bukan hanya fisikku, tetapi batinku. Sinetron “Muslimah” masih terpampang, anak-anak sedang belajar. Nurul putri sulungku kini telah kelas tiga SMP, dia anak yang rajin dan pendiam. Rohmat, putera ke duaku kini kelas lima SD, dia anak yang gesit dan periang. Aah, Tuhan begitu baik memberikanku buah hati yang penurut.

“Kamu sakit, Bu?”
Suara di sampingku sedikit mengagetkanku.

“Ndak apa-apa kok, Pak. Cuma agak capek”
Kulempar senyum ke suamiku.

“Sebaiknya kalau kerja ndak usah dipaksakan, kalau kuatnya sehari kerja di dua tempat ya dua tempat saja. Nggak usah di tiga tempat” Suamiku menasehati

“Ndak apa-apa kok, Pak. Insya Allah masih kuat” kupermanis senyumanku

Suamiku orang yang paling perhatian. Sehari-hari dia melayani reparasi barang-barang elektronik di rumah. Kehidupan kami memang sangat pas-pasan. Hanya cukup untuk keperluan harian yang seadanya, bahkan sering ngebon di warung mbak Minah hanya untuk beli sembako. Karena itulah kuputuskan untuk bekerja, sebagai pembantu rumah tangga. Suamiku sangat keberatan saat aku mengajukan keinginanku untuk bekerja.

“Ndak usah sajalah, Bu”
“Kenapa ndak boleh, Pak?”
“Apa Ibu ndak malu? Jadi pembantu itu bukan cuma capek, tapi harus kuat hati”
“Ndak apa-apa, Pak. Kebutuhan kita semakin banyak. Apa-apa sekarang mahal. Apalagi untuk sekolah anak-anak kita. Kalau hanya dari penghasilan Bapak, ya mana mungkin cukup”
“Tapi, Bu...”
“Tolonglah, Pak. Izinkan Ibu untuk bekerja. Lha ibu ndak punya keterampilan apa-apa, bisanya ya cuma jadi pembantu. Yang penting halal, Pak”
“Ya, sudah. Tapi jangan dipaksakan ya”
“Jangan khawatir, Pak”

Kuberikan senyuman untuk suamiku. Dia memelukku haru. Sampai saat ini sudah dua tahun berjalan. Aku bekerja sebagai pembantu di sebuah komplek perumahan mewah di dekat kampungku. Tugasku setiap hari selayaknya pembantu pada umumnya, menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika dan lainnya. Namun aku tidak tinggal menginap, tetapi pulang saat pekerjaanku telah selesai. Sampai sekarang ada lima keluarga yang membutuhkan jasaku. Rata-rata majikanku orang yang baik. Sampai saat ini aku belum pernah bermasalah dengan mereka. Setiap hari aku mampu membatu di tiga tempat. Aku dibayar berdasarkan kedatanganku. Dan alhamdulillah kebutuhan kehidupan keluarga kami agak membaik.

Tapi ada seorang majikan laki-lakiku yang berbeda. Namanya pak Tomi, umurnya kira-kira kepala empat. Istrinya, bu Siska, beliau yang sangat baik. Dadaku terasa sesak saat mengingat kejadian sore tadi. Saat aku sedang menyeterika pakaian di dalam salah satu kamar di lantai bawah. Pak Tomi tiba-tiba masuk ke kamar tempatku menyeterika, pintunya memang terbuka. Semula dia menyapaku ramah.

“Mbak Siti rajin, ya”
“Biasa saja, Pak. Sudah kewajiban” Jawabku sopan
“Mbak Siti sekarang umur berapa?”
“Tigapuluh tiga, Pak”
“Ooh, masih muda ya. Anaknya berapa?”
“Dua, Pak”
“Kelas berapa?”
“Sulung kelas tiga SMP, yang nomer dua kelas lima SD, Pak”
“Sudah besar-besar ya”
Kuberikan senyuman saja. Sampai di sini Pak Tomi masih terkesan ramah dan perhatian.

“Nggak pingin nambah anak, mbak?”
“Ndak, Pak. Dua saja sudah repot”
“Mbak Siti kan masih muda, segar, badannya bagus, pasti suaminya seneng, ya”
Aku merasa tak nyaman mulai dari pembicaraan ini. Tak kujawab pertanyaannya, hanya kulempar senyum saja.

“Beda dengan istriku, payah, mbak. Perempuan kalau sudah habis operasi caesar itu nggak bisa asyik di tempat tidur”
Tak kutanggapi lagi pernyataannya, pernyataan yang tak sepantasnya dilontarkan padaku.

“Kalau Mbak Siti mungkin hebat saat di ranjang ya, hehehe”
Aku mulai risih dengan pembicaraan ini. Apalagi tatapan mata pak Tomi seolah menelanjangiku. Mataku mencari-cari Bu Siska, tetapi tak menemukannya. Mungkin dia masih di kamarnya.

“Hmmm...saya jadi iri sama suamimu, Mbak”
“Saya pingin juga merasakan “permainan ranjang” bareng mbak Siti”
Aku tersentak kaget. Pernyataannya sudah ngawur ngelantur. Aku sudah muak dan merasa dilecehkan.

“Maaf, Pak!”
Sergahku agar pak Tomi tak melanjutkan pembicaraan.

“Mbak Siti semakin menarik kalau melotot begitu, menggairahkan!”

Aku sudah tak sanggup lagi bertahan di dalam kamar itu. Kalau diteruskan, aku akan dilecehkan bukan hanya secara lisan tetapi lebih. Laki-laki ini benar-benar tak menghargai perempuan apalagi yang berjilbab sepertiku. Aku memang pembantu, tetapi tetap punya harga diri. Pakaian seterikaan belum tuntas kuselesaikan. Setengah berlari aku menghambur ke luar kamar. Segera kuambil sapu untuk menyapu ruang tamu, syukurlah kutemukan bu Siska di ruang keluarga. Badanku menggigil, bibirku bergetar. Belum pernah seumur hidupku aku dilecehkan macam ini. Pak Tomi tak berani mendekatiku lantaran aku selalu berada di dekat bu Siska. Kemudian dia masuk ke kamarnya di lantai atas. Segera kutuntaskan pekerjaanku dan pamit pulang kepada bu Siska.

“Maaf bu, lantai atas tidak saya bersihkan, saya agak sakit”
Aku tak berbohong, badanku memang terasa lemas. Terlebih perasaanku.

“Ooh, iya gak papa, mbak Siti. Ini sekalian gaji yang kemarin”
Sambil memberikan amplop berisi gajiku bulan lalu.

“Terimakasih, Bu. Saya pamit”
“Iya, Mbak. Hati-hati ya”

Segera kukayuh sepedaku untuk pulang. Badanku terasa lunglai, bibirku pun masih bergetar. Air mataku mengucur sepanjang jalan. Pernyataan pak Tomi masih terngiang menyakitkan. Dan hari ini kuputuskan terakhir kalinya aku bekerja di rumah itu.

“Mau tak pijitin, Bu?”
Suara suamiku membuyarkan lamunanku. Aah, suamiku yang sederhana dan perhatian. Sengaja kusimpan kisah hari ini sendiri. Aku tak mau melukai hatinya. Saat dia mengetahui hal yang menimpaku hari ini, pasti tak diizinkannya aku bekerja di rumah pak Tomi bahkan di rumah yang lain. Padahal penghasilanku sangat membantu kelangsungan kehidupan keluargaku.
-------------
Aku bangun dalam sepertiga malamku, kuambil air wudlu. Kutumpahkan seluruh kesahku hanya kepadaNya. Kupinta perlindungan dari segala fitnah dan perbuatan keji.

8 comments:

Anonymous said...

Kasihan ya mbak siti............Tapi saya yakin sampe sekarang masih banyak majikan kayak pak Tomi....Ya semoga, mereka selalu di buka mata hatinya, untuk memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Gaya bahasanya simpel buanget dan mudah untuk di pahami non....bagus kok cerpen kamu.... dapat inspirasi dari mana ya ?....

Unknown said...

Nggak sekuat puisinya Miss Elly, alurnya datar, kurang kejutan jadi sedikit membosankan.Aku mebayangkan kejadian lebih dramatis dengan menambahkan pulang setelah kejadian itu Bu Siti mmendapati anaknya sakit, dan yang memberi hutang adalah istri majikan yang kurang ajar itu.
Kejutan di endingnya bakal lebih seru, anak perempuan sang majikan hamil sebelum nikah.....

Anonymous said...

kalo saya dalam posisi siti, sata pasti kasih tau suami saya.
biar di hajar aja tu pak tomi hehe.. :D

Anonymous said...

kalo aq jd siti, laporin aja sm suami. biar ditampol sekalian tu pak tomi kulang ajal...

Anonymous said...

keren...deh, semua keluh kesah, pengorbanan dan perjunagan dalam hidup perlu adanya kerja kesa. Seorang yang ingin tumbuh dg kedewasaan adalah mereka yang berharap adanya kemungkinan.

Anonymous said...

Semua ada jalan, orang baik didunia ini masih banyak KEhidupan adalah sebuah perjuangan yang berkelanjutan. Jangan mau dimainkan dgn keadaan tapi bermainlah dengan keadaaan

lukni said...

jangan mau di permainkan dg keadaan tapi bermain-mainlah dengan keadaan. Masih banyak diantara kita orang bijak

aisyan said...

belum sempat nak baca..

Is Slim Better Than Obese?